Berikut ini akan dijelaskan mengenai tradisi lisan, pengertian tradisi lisan, pengertian folklore, folklor lisan, ciri ciri tradisi lisan, folklore non lisan, folklor sebagian lisan, contoh tradisi lisan, jenis jenis folklor, jenis jenis tradisi lisan, macam macam tradisi lisan, cerita rakyat, bahasa rakyat, logat, slang, bahasa pedagang, shoptalk, colloquial, circumlocution, onomastis, puisi rakyat, peribahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki rakyat, pertanyaan tradisional, nyanyian rakyat, folksong, cara melestarikan tradisi lisan, upaya melestarikan tradisi lisan.
Perkembangan Tradisi Lisan Dalam Masyarakat
Suatu masyarakat memiliki beberapa macam cara untuk mewariskan nilai-nilai sejarah dan kebudayaannya yang berupa kebiasaan, adat istiadat, dan sejarah kepada generasi penerusnya.
Pada masyarakat prasejarah proses pewarisan kebudayaan tersebut dilakukan melalui tradisi lisan karena masyarakat tersebut belum mengenal tulisan.
Suatu masyarakat memiliki beberapa macam cara untuk mewariskan masa lalunya yang berupa kebiasaan, adat istiadat, dan sejarah kepada generasi penerusnya.
Proses pewarisan kebudayaan tersebut dilakukan melalui bukti-bukti tertulis dan penuturan secara lisan atau cerita dari generasi tua kepada generasi penerus.
Pada masa sejarah di mana munusia sudah mulai mengenal tulisan maka proses pewarisan kebudayaan suatu kelompok masyarakat dilakukan dengan cara menggunakan tulisan.
Sebaliknya, pada masa di mana manusia belum mengenal tulisan maka proses pewarisan masa lalu dilakukan dengan cara lisan melalui penuturan dari mulut ke mulut secara turun-temurun.
Proses kebiasaan masyarakat untuk mewariskan budaya kepada generasi berikutnya yang dilakukan secara lisan disebut tradisi lisan.
A. Pengertian Tradisi Lisan
Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan.
Menurut Jan Vansina, pengertian tradisi lisan (oral tradition) adalah “oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more” (kesaksian yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi).
Tradisi lisan muncul di lingkungan kebudayaan lisan dari suatu masyarakat yang belum mengenal tulisan.
Di dalam tradisi lisan terkandung unsur-unsur kejadian sejarah, nilai-nilai moral, nilai-nilai keagamaan, adat istiadat, cerita-cerita khayalan, peribahasa, nyanyian, serta mantra-mantra suatu masyarakat.
Seringkali pengertian tradisi lisan dianggap sama dengan folklor. Namun, kedua unsur kebudayaan tersebut sebenarnya memiliki perbedaan.
Folklor terdiri atas folklor lisan dan setengah lisan dan proses penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut atau dengan cara-cara lainnya.
Sebaliknya, tradisi lisan adalah salah satu jenis folklor berbentuk lisan dan proses pewarisannya hanya dilakukan secara lisan. Oleh karena itu, folklor lebih luas pengertiannya dibandingkan tradisi lisan.
Bentuk tradisi lisan terdiri atas cerita rakyat, teka-teki rakyat, peribahasa rakyat, dan nyanyian rakyat, sedangkan folklor mencakup semua jenis tradisi lisan, tari-tarian rakyat, dan arsitektur rakyat.
B. Jenis-Jenis Tradisi Lisan
Tradisi lisan terdiri atas cerita rakyat, bahasa rakyat, teka-teki rakyat (pertanyaan tradisional), peribahasa rakyat (ungkapan tradisional), dan nyanyian rakyat. Pada uraian berikut ini akan dijelaskan tentang berbagai macam tradisi lisan tersebut.
1. Cerita Rakyat
Cerita rakyat adalah cerita pada zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat yang diceritakan secara turun-temurun. Meskipun sebagian besar isi cerita rakyat hanya berisi cerita khayalan, namun di dalam cerita rakyat tersebut terkandung pesan moral yang berisi nasihat-nasihat.
Oleh karena itu, cerita rakyat dapat dipakai sebagai sarana pewarisan kebudayaan dan adat istiadat dari suatu masyarakat kepada generasi berikutnya.
Menurut William R. Bascom, cerita rakyat terdiri atas tiga golongan, yaitu mitos, legenda, dan dongeng. Contoh cerita rakyat yang berupa cerita mitologi adalah cerita terjadinya dewi padi, Dewi Sri, dan cerita terjadinya mado (marga) di Pulau Nias.
Contoh cerita rakyat berupa legenda adalah legenda Ken Arok, legenda Panji, dan legenda para Wali. Contoh cerita rakyat yang berupa dongeng adalah dongeng Sang Kancil, Ande-Ande Lumut, Bawang Putih dan Bawang Merah, Sang Kuriang atau legenda terjadinya Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, dan dongeng Bujang Munang dari Kalimantan Barat.
2. Bahasa Rakyat
Menurut James Danadjaja dalam buku Folklor Indonesia, bentuk-bentuk tradisi lisan yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat atau dialek, slang, bahasa pedagang (shoptalk), bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional (colloquial), sirkumlokusi,
cara pemberian nama pada seseorang, gelar kebangsawanan, bahasa bertingkat (speech level), kata-kata onomatopoetis (onomatopoetic), dan pemberian nama tradisional jalan atau tempat tertentu berdasarkan legenda sejarah (onomastis).
a. Logat
Logat atau dialek adalah gaya bahasa suatu daerah di Indonesia. Misalnya, logat bahasa Jawa Indramayu yang merupakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Sunda, logat bahasa Sunda dari Banten, logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Sunda Cirebon.
b. Slang
Slang atau bahasa rahasia adalah ragam bahasa tidak resmi yang bersifat musiman yang dipakai oleh suatu kelompok masyarakat tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar.
Menurut kamus Webster’s New World Dictionary of the American Languang slang berasal dari kosakata dan idiom yang digunakan oleh para penjahat dan gelandangan. Pada saat ini, slang disebut juga cant.
Contoh ragam bahasa cant banyak digunakan oleh kelompok pengguna narkoba. Misalnya, penggunaan istilah nyipek (menghisap ganja), ganjis, (ganja), cimeng (pil ekstasi), putauw (heroin), sakauw (ketagihan narkoba), dan bong (alat penghisap heroin).
Selain itu, cant juga banyak digunakan di kalangan para penjahat dan pencopet. Cant di kalangan para penjahat disebut juga argot.
Misalnya, penggunaan istilah jengkol untuk menyebut kacamata yang akan menjadi sasaran penjambretan dan rumput untuk menyebutkan polisi di kalangan para penjahat di Jakarta.
Ragam bahasa cant juga digunakan oleh para wanita pekerja seks komersial (PSK) di Jawa Tengah dengan cara menambahi suku kata se pada akhir setiap suku kata dalam suku kata yang mereka ucapkan. Misalnya, kata kowe (kamu) setelah diimbuhi suku kata se menjadi kosewese.
c. Bahasa Pedagang (Shoptalk)
Bahasa pedagang adalah ragam bahasa yang digunakan di kalangan pedagang untuk melakukan transaksi. Di Jakarta, bahasa pedagang yang digunakan di pasar-pasar berasal dari istilah yang dipinjam dari bahasa Mandarin dari suku bangsa Hokkian.
Misalnya, istilah-istilah harga suatu barang, seperti jigo (dua puluh lima rupiah), cepek (seratus rupiah), dan cetiau (sejuta).
d. Kolokuial (Colloquial)
Kolokuial adalah bahasa-bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional. Misalnya, bahasa sehari-hari yang digunakan para remaja di Jakarta, seperti jomblo (tidak punya pacar), tajir (kaya), dan jutek (judes), garing (membosankan), jaim (jaga wibawa), jayus (kuno), culun (lugu), dan jeti (juta). Fungsi kolokuial digunakan untuk menambah keakraban dalam pergaulan remaja.
e. Sirkomlokusi (Circumlocution)
Sirkomlokusi adalah ungkapan tidak langsung yang digunakan untuk menyebutkan suatu benda atau suatu tempat.
Contoh sirkomlokusi adalah penyebutan istilah harimau yang hidup di suatu hutan dengan istilah eyang (kakek) dalam masyarakat Jawa dan datuk (kakek) di kalangan masyarakat Jambi.
Penggunaan sirkomlokusi nama binatang tersebut digunakan untuk menghindari terkaman harimau apabila seseorang akan berjalan melewati hutan.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, harimau di hutan tidak akan menerkam manusia apabila dipanggil kakek. Masyarakat Jawa meyakini bahwa seorang kakek tidak akan melukai dan membunuh cucunya sendiri.
Di kalangan orang Bali juga terdapat kepercayaan untuk tidak mengucapkan beberapa istilah tertentu selama panen. Jika dilanggar, maka penyebutan istilah yang dilarang tersebut akan mengakibatkan kegagalan panen.
Oleh karena itu, digunakan kata-kata sirkomlokusi. Misalnya, penggunaan istilah kutu sawah untuk menggantikan kata kerbau, monyet diganti dengan istilah kutu dahan, dan istilah ular diganti dengan si perut panjang.
f. Pemberian Nama pada Seseorang
Cara pemberian nama pada seseorang merupakan contoh bahasa rakyat. Di Jawa Tengah, seseorang tidak mempunyai nama keluarga. Untuk memberi nama pada seorang anak, orang tua harus memperhitungkan tanggal dan hari lahir anak (weton) sehingga sesuai nama yang diberikan.
Selanjutnya, seorang pria yang telah menikah akan mendapatkan nama dewasa (jeneng tuwo). Namun, pemberian nama dewasa ini hanya dilakukan pada para pria.
Meskipun sudah jarang dilakukan, penambahan nama baru setelah dewasa masih ditemui di wilayah pedesaan di Surakarta dan Yogyakarta. Pemberian nama pada seseorang bisa dilakukan berdasarkan ciri-ciri fisiknya.
Di Jawa masih terdapat kebiasaan untuk memberi nama julukan pada seseorang, selain nama pribadinya berdasarkan bentuk tubuh si anak. Misalnya, si jangkung (tinggi), si pendek (pendek), dan si nonong (dahinya menonjol).
g. Pemberian Gelar Kebangsawanan
Pemberian gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional adalah salah satu bentuk bahasa rakyat. Pemberian gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional ini masih dilakukan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Gelar kebangsawanan seorang pria di Jawa Tengah secara berturut-turut adalah mas, raden, raden mas, raden panji, raden tumenggung, raden ngabehi, raden mas panji, dan raden mas aria.
Gelar kebangsawanan seorang wanita di Jawa Tengah secara berturut-turut adalah raden roro, raden ajeng, dan raden ayu.
Gelar-gelar tradisional tersebut juga masih terdapat di desa Adat Trunyan, Bali, yaitu kubuyan, bau mucuk, bau madenan, bau merapat, saing nem, saing pitu, saing kutus, saing sanga, saing diyesta, punggawa, pasek dan penyarikan.
h. Bahasa Bertingkat
Bahasa bertingkat atau speech level adalah bahasa yang dipergunakan berdasarkan adanya perbedaan dalam lapisan masyarakat. Bahasa bertingkat berlaku dalam lapisan masyarakat, tingkatan masyarakat, dan kelompok umur.
Penggunaan bahasa bertingkat berkaitan dengan nilai budaya masyarakat dan sopan santun. Contoh Jenis bahasa bertingkat di kalangan masyarakat Jawa Tengah adalah, bahasa ngoko (bahasa yang tidak resmi dan bersifat kurang hormat); bahasa kromo ( bahasa yang bersifat setengah resmi dan bersifat sedikit hormat); bahasa kromo inggil (bahasa yang bersifat resmi dan sopan).
Contoh Jenis bahasa bertingkat di kalangan masyarakat Sunda adalah bahasa kasar (bahasa yang tidak sopan dan tidak resmi); bahasa penengah (bahasa yang bersifat sedikit sopan dan setengah resmi); dan bahasa lemes (bahasa yang bersifat sopan dan resmi).
Contoh bahasa bertingkat orang Bali adalah bahasa nista (rendah); bahasa madia (menegah); dan bahasa utama (resmi).
i. Onomatopoetis
Onomatopoetis adalah kata-kata yang dibentuk dengan mencontoh bunyi atau suara alamiah. Misalnya, kata greget dalam bahasa Betawi, yang berarti perasaan sengit sehingga seolah-olah ingin menggigit orang yang menjadi sasaran kemarahan.
Kata greget terbentuk dengan mencontoh suara beradunya barisan gigi rahang atas dan rahang bawah. Contoh onomatopetis adalah kata dalam bahasa Jawa gemlodak (riuh rendah) untuk mengambarkan bunyi suatu benda yang digerakgerakan dalam sebuah kotak kayu.
j. Onomastis
Onomastis adalah pemberian nama tradisional jalan atau tempat tertentu berdasarkan legenda sejarah. Misalnya, pemberian nama kota Surabaya untuk mengenang pertempuran antara buaya (boyo) dan hiu (sura). Menurut James Danandjaja, bahasa rakyat mempunyai empat fungsi, antara lain:
1) memberi dan memperkukuh identitas kelompok;
2) melindungi pemakai bahasa rakyat dari ancaman kelompok lain atau penguasa;
3) memperkukuh pemakai bahasa rakyat dalam sistem pelapisan sosial masyarakat;
4) memperkukuh kepercayaan rakyat terhadap nuilai-nilai budayanya.
3. Sajak atau Puisi Rakyat
Ciri khas folklor lisan berbentuk sajak rakyat adalah kalimatnya berbentuk terikat (fixed phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang terdiri atas beberapa deret kalimat yang dibentuk berdasarkan unsur mantra, panjang pendeknya suku kata, dan lemah kuatnya tekanan suara atau irama.
Sajak atau puisi rakyat dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki), cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat berupa mantra-mantra.
Menurut W. Meijner, seperti puisi-puisi rakyat dari bangsa lain, puisi rakyat bangsa Indonesia seringkali bertumpang tindih dengan jenis-jenis folklor lainnya.
Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali khazanah puisi rakyat yang masih belum tergali kekayaannya. Contoh puisi rakyat di dalam suku bangsa Jawa adalah jenis puisi rakyat yang harus dinyanyikan yang disebut tembang.
Contoh puisi rakyat berbentuk tembang adalah tembang sinom, kinanti, pangkur, dan durma. Contoh puisi rakyat di dalam suku bangsa Sunda adalah puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran yang disebut sisindiran.
Berdasarkan jenisnya sisindiran dibagi menjadi dua kategori, yakni sisindiran yang disebut paparikan dan wawangsalan.
Contoh puisi rakyat dalam bahasa Bali disebut dengan istilah geguritan yang bertema masalah percintaan.
Beberapa jenis sajak atau puisi rakyat adalah sajak untuk anak-anak (nursery rhyme), sajak permainan (play rhyme), dan sajak untuk menentukan siapa yang menjadi lawan dalam satu permainan atau tuduhan (counting out rhyme).
Contoh sajak anak-anak suku Betawi yang paling terkenal adalah, ”pok ame-ame, balang kupu-kupu, tepok rame-rame, malam minum susu…” Sajak anak-anak tersebut dibawakan untuk menghibur bayi yang sedang sedih agar tertawa.
Contoh sajak permainan lainnya yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah sebagai berikut:
”Eee dhayohe teko (he tamunya datang),
Eee gelarno kloso (he gelarlah tikar),
Eee klosone bedhah (he tikarnya robek),
Eee tembelen jadah (he tambal saja dengan
kue uli),
Eee jadahe mambu (he kue ulinya bau),
Eee pakakno asu (he berikan pada anjing),
Eee asune mati (he anjingnya mati),
Eee buangen kali (he buanglah ke kali)”.
Contoh sajak untuk menentukan siapa yang menjadi lawan dalam suatu permainan atau tuduhan (counting out rhyme) dalam folklor Betawi adalah dengan mengucapkan ”hom pimpah, halai hom gambring, ”dan ”hom pin sut!” Sajak anak-anak yang tidak memiliki arti tersebut diucapkan bersama-sama oleh beberapa anak sebelum dimulainya suatu permainan.
4. Peribahasa Rakyat (Ungkapan Tradisional)
Menurut Cervantes, peribahasa atau ungkapan tradisional adalah kalimat pendek berisi nasihat bijak bagi masyarakat. Di Indonesia setiap suku bangsa memiliki khazanah peribahasa rakyat yang berisi petuah-petuah bijak dan pedoman nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya, di Bali terdapat peribahasa rakyat yang berbunyi, ”yen melali aluthan, dan takhut selem” (jika berani bermain dengan arang, jangan takut menjadi hitam).
Arti peribahasa tersebut adalah apabila seseorang berani menghadapi bahaya maka ia juga harus menghadapi resikonya.
Peribahasa rakyat atau ungkapan tradisional memiliki dua sifat dasar, yaitu berbentuk satu kalimat ungkapan dan mempunyai bentuk yang baku.
Berdasarkan jenisnya, ungkapan tradisional atau peribahasa rakyat dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, antara lain sebagai berikut.
- Peribahasa berbentuk ungkapan tradisional yang memiliki struktur kalimat yang lengkap berisi petuah bijak. Misalnya, ”buah yang manis berulat di dalamnya” (orang yang bermulut manis, tetapi sesungguhnya hatinya jahat).
- Peribahasa yang tidak lengkap kalimatnya dan berisi kiasan. Misalnya, peribahasa Melayu, ”terajuk kecewa, tersaukkan ikan suka, tersaukkan batang masam”, (orang yang hanya ingin mengambil untung tanpa bekerja keras).
- Peribahasa perumpamaan, yang dimulai dengan kata-kata seperti atau sebagai. Misalnya, ”seperti telur di ujung tanduk” (menggambarkan keadaan yang sangat gawat); atau ”bagai belut diregang”, (menggambarkan orang yang sangat kurus).
- Ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa, yaitu ungkapan-ungkapan hinaan (insult), celetukan (retort), atau suatu jawaban yang pendek, tajam, lucu, atau peringatan yang dapat menyakitkan hati. Misalnya, ungkapan dalam bahasa Jawa ”kebo dicencang, sapi ditarik (disingkat borik), yang berisi ungkapan penghinaan terhadap orang yang bermuka buruk.
5. Teka-Teki Rakyat (Pertanyaan Tradisional)
Pertanyaan tradisional atau teka-teki rakyat adalah pertanyaan yang sukar untuk dijawab dan baru dapat dijawab setelah diketahui jawabannya. Beberapa contoh teka-teki rakyat (pertanyaan tradisional), antara lain sebagai berikut.
- ”Anaknya bersarung, induknya telanjang, apakah itu ?” Jawabnya ”rebung bambu”.
- ”Dua ekor kelinci putih keluar masuk gua, apakah itu ?” Jawabnya ”ingus di hidung seorang anak kecil yang sedang pilek.”
- ”Ayam berbulu terbalik, bermain di kebun, apa itu ?” Jawabnya ”buah nanas”.
- ”Bulat bagaikan simpai, dalam bagaikan cangkir, seluruh sapi jantan raja tidak dapat menariknya”, Jawabnya ”sebuah sumur”.
Menurut Robert A. Georges dan Alan Dundes, berdasarkan unsur pertentangan di dalam pertanyaan dan jawabannya, maka teka-teki rakyat atau pertanyaan tradisional tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, antara lain;
a. teka-teki yang tidak bertentangan (non oppositional riddles);
b. teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles).
Pembagian jenis teka-teki rakyat yang tidak bertentangan pertanyaannya dan jawabannya didasarkan atas unsur-unsur yang bersifat harfiah (literal) atau kiasan (metaphorical).
Contoh teka-teki yang tidak bertentangan yang bersifat harfiah adalah ”apa yang hidup di sungai?” Jawabannya adalah ”ikan!” Contoh teka-teki yang tidak bertentangan yang bersifat kiasan, adalah ”apakah dua baris kuda putih berbaris di atas bukit merah itu ” Jawabannya adalah ”sederet gigi di atas gusi!”
Ciri teka-teki bertentangan (oppositional riddles) adalah pertentangan antara sepasang unsur pelukisannya (descriptive elements).
Salah satu contoh teka-teki rakyat yang bertentangan di antara unsur-unsur pelukisannya adalah pertanyaan ”apa yang pergi ke sungai meminum dan tidak meminum?” Jawabannya adalah ”sapi dan gentanya!”
Di dalam pertanyaan tersebut terdapat unsur pertentangan antara unsur pelukisan kedua (genta yang tidak meminum) yang mengingkari unsur pelukisan pertama (sapi yang meminum).
6. Nyanyian Rakyat (Folksong)
Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri atas kata-kata dan lagu tradisional yang dinyanyikan secara lisan di dalam suatu masyarakat. Berdasarkan kegunaannya jenis-jenis nyanyian rakyat dapat dibagi menjadi, antara lain;
- nyanyian rakyat atau aba-aba yang digunakan untuk menggugah semangat ”gotong royong” masyarakat seperti aba-aba holopis kuntul baris dari Jawa Timur atau rambate rata dari Sulawesi Selatan;
- nyanyian permainan yang digunakan untuk mengiringi anakanak yang bermain baris-berbaris. Misalnya, nyanyian baris terik tempe, ridong udele bodong (berbaris sayuran dari tempe, Ridong pusarnya menonjol) dari Jawa Timur.
Berdasarkan isinya, nyanyian rakyat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu nyanyian rakyat permainan anak-anak, umum, dan kerohanian.
Contoh nyanyian rakyat untuk mengiringi tari atau permainan anak-anak dari berbagai daerah adalah Cublak-Cublak Suweng, Ilir-Ilir, dan Jamuran (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Cing Cangkeling (Jawa Barat); Meyong-Meyong (Bali); dan Cik-Cik Periok (Kalimantan).
Nyanyian rakyat umum dinyanyikan untuk mengiringi suatu tarian. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur nyanyian rakyat umum disebut dengan istilah gending, seperti gending sinom, pucung, dan asmaradhana.
Di Bali terdapat nyanyian rakyat umum di dalam kisah balada dan epos yang berasal dari cerita Mahabharata dan Ramayana.
Di Jawa Barat terdapat nyanyian rakyat umum yang disebut pantun Sunda, seperti Cerita Lutung Kesarung, Cerita Sumur Bandung, Cerita Demung Kalagan, dan Cerita Mundanglaya di Kusuma.
Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dinyanyikan pada saat upacara-upacara siklus hidup, seperti saat kelahiran, perkawinan, upacara bersih desa, dan panen. Misalnya, nyanyian Hoho di Nias, dan lagu Bisi serta Pirawat suku Asmat di Papua.
Nyanyian rakyat juga berkembang pada saat pengaruh budaya Islam mulai menyebar di Indonesia. Misalnya, lagu-lagu unuk mengiringi tari Saman dan Seudati di daerah Aceh, tari Zapin, tari hadrah, serta nyanyian kasidah di beberapa daerah lainnya.