Di sisi lain, gereja sebagai yang berwenang melaksanakan agama menurut keyakinan kristiani menjalin persekutuan busuk dengan para penguasa dhalim,
memberikan label-label kesucian dan kemaksuman dari kesalahan kepada mereka serta memperkenankan (melegalkan) segala tindak kejahatan dan penindasan yang mereka lakukan kepada rakyat,
dengan penuh keyakinan bahwa langkah ini adalah ajaran agama yang sepantasnya semua orang harus patuh dan menerimanya.
Bertolak dari sini, di sana orang mulai mencari pelarian untuk menyelamatkan diri dari penjara dan kesewenang-wenangan gereja.
Tidak ada jalan keluar yang bisa mereka pilih pada waktu itu selain menentang agama yang memerangi ilmu pengetahuan dan mendukung para pelaku kriminal tersebut,
dengan jalan membangkang; mengasingkan dan menyingkirkannya dari seluruh sisi kehidupan politik, ekonomi, ilmiah; moralitas dan lain sebagainya.
Duhai, sekiranya ketika mereka yang memberontak terhadap agama gubahan ini mereka mendapat petunjuk kepada agama islam.
Namun ternyata mereka memproklamirkannya (paham sekularisme) untuk memerangi semua agama.
Bilamana realita yang telah terjadi di negara kristiani barat ini bukan sesuatu yang aneh, maka hal itu tidak mungkin terjadi pada agama islam bahkan tidak pula terbayangkan.
Wahyu Allah dalam agama islam tiada akan tersusupi kebatilan dari depan atau belakangnya, sehingga tidak mungkin ada pemutarbalikkan dan penggantian.
Pula tidak bisa ditambah atau dikurangi. Bersamaan dengan itu, wahyu Allah tidak memihak kepada seseorang, apakah itu penguasa atau rakyat biasa, semua memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum syariatnya.
Ia menjaga kepentingan-kepentingan manusia yang hakiki (primer), maka tidak ada satu pemberlakuan undang-undangpun yang kontradiktif dengan maslahat umat manusia.
Selain itu islam juga memotifasi dan mendorong untuk (menimba) ilmu pengetahuan serta tidak ada satupun nash syar’i yang terbukti keshahihannya bertolak belakang dengan kebenaran ilmiyah.
Jadi semua ajaran islam adalah benar, baik dan mencerminkan keadilan.
Dari pemahaman ini, maka semua arus pemikiran dan paham yang lahir di negara-negara barat pasca gerakan pengucilan agama dan permusuhannya,
tidak berhak muncul bahkan tidak akan menemukan telinga-telinga yang mau mendengarkannya di negara-negara muslim, andai bukan karena aktifitas-aktifitas ghazwul fikri yang terstruktur rapi,
yang secara kebetulan pada waktu itu menimpa hati-hati yang hampa dari hakikat iman, akal-akal yang tidak mampu berfikir dengan benar dan kehidupan dunia yang terlantar dan tertinggal dalam hal peradaban.
Sunggguh, para pemeluk kristen arab yang berdomisili di negara-negara muslim memiliki kontribusi besar dan pengaruh penting dalam mengusung pemikiran sekular ke Negeri-negeri muslimin, memasarkan dan turut andil menyebarkannya melalui media-media informasi yang beragam.
Begitu juga misi-misi pendidikan (seperti pertukaran pelajar) yang menuntut mahasiswa-mahasiswa muslim pergi ke negara negara barat untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu modern, memiliki peran yang besar dalam mengusung pemikiran sekular beserta aspek-aspek riilnya ke negeri-negeri Islam.
Para mahasiswa tersebut diliputi rasa kagum terhadap apa yang mereka saksikan disana berupa fenomena-fenomena nyata dari kemajuan ilmu pengetahuan dan hasilnya.
Kemudian mereka kembali ke negeri masing-masing dengan membawa segala apa yang mereka saksikan baik berupa adat, tradisi, tatanan sosial, politik dan ekonomi, selanjutnya berusaha mensosialisasikan dan mempropagandakannya kepada masyarakat.
Ironisnya, bersamaan dengan itu masyarakat menyambutnya dengan penuh semangat akibat kesalah pahaman mereka bahWa para lulusan barat tersebut telah dianggap sebagai para pembawa ilmu yang bermanfaat dan penyandang pengetahuan yang benar.
Padahal adat istiadat, tatanan dan tradisi yang diserap dan mereka agung-agungkan oleh para utusan tersebut tidak lain hanyalah adat istiadat, tradisi dan tatanan masyarakat yang menolak segala hal yang memiliki kaitan atau hubungan dengan ajaran agama.
Penjelasan singkat ini, selain menunjukkan kepada kita akan cara masuk paham sekular ke negeri-negeri muslim juga mengingatkan kita kepada dua masalah penting:
Pertama, Bahaya pemeluk keyakinan selain islam baik kaum kristiani dan lainnya yang hidup di negara-negara muslim dan bagaimana mereka melancarkan tipu daya terhadap islam beserta penganutnya, hal ini mengharuskan kita untuk selalu waspada dari mereka dan menempatkan mereka pada posisi yang Allah tetapkan buat mereka.
Maka kita tidak boleh memberikan tampuk kepemimpinan dan jabatan serendah apapun kepada mereka di negara-negara muslim.
Sebagaimana pula halnya seluruh media informasi dan komunikasi harus tertutup di depan mereka, sehingga mereka tidak bisa mempublikasikan jati diri mereka di tengah-tengah masyarakat muslim.
Tetapi siapa yang berani melakukan itu! Sebaliknya, kebanyakan undang-undang yang ada banyak memberikan tempat terhormat bagi mereka untuk menebarkan racun (sekularisme) ini. Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.
Kedua, Bahaya pengiriman generasi muda kaum muslim untuk belajar (ke negeri-negeri barat).
Sudah berapa banyak muslim yang pergi ke sana kemudian kembali dengan membawa roman muka yang berbeda dengan roman muka ketika mereka berangkat dan hati yang tidak sama dengan hati disaat mereka berangkat.
Dan apabila memang ada faktor-faktor yang mendorong sebagian muslimin pergi kesana untuk menimba pengetahuan dalam disiplin ilmu-ilmu eksperimen _ilmu eksakta-,
bagaimana kita bisa menyetujui kepergian sebagian muslim lain untuk memperoleh gelar pendidikan (akademis) dalam disiplin ilmu-ilmu syariat pada umumnya dan bahasa arab pada khususnya?!
Bahasa arab itu bahasa mereka atau bahasa kita (umat islam)?! Dan apakah Al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka atau bahasa kita?!
Masuk akalkah apabila seorang muslim berharap memperoleh pengetahuan yang benar seputar ilmu-ilmu islam dan syariatnya dari orang-orang yang notabene manusia paling kufur dan dengki terhadap islam dan pemeluknya.