Dwi fungsi ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Kebijakan ini diterapkan sejak tahun 1966 hingga 1998. Pada awalnya, kebijakan dwi fungsi ABRI adalah untuk menjaga keamanan dalam negeri dan mempertahankan kedaulatan negara. Namun, seiring berjalannya waktu, kebijakan ini mengalami pergeseran fungsi dan mulai menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sejarah Kebijakan Dwi Fungsi ABRI
Kebijakan dwi fungsi ABRI pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1966. Pada saat itu, Indonesia sedang dilanda kekacauan politik dan ancaman dari pihak luar yang ingin mengambil keuntungan dari keadaan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan dwi fungsi ABRI dianggap perlu untuk menjaga stabilitas keamanan dan membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam negeri.
Pada awalnya, kebijakan dwi fungsi ABRI hanya diterapkan dalam kegiatan-kegiatan operasional militer seperti perang, latihan militer, dan penjagaan perbatasan. Namun, seiring berjalannya waktu, kebijakan ini mulai diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pada saat itu, ABRI menjadi semacam “negara dalam negara” yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam pemerintahan.
Fungsi Kebijakan Dwi Fungsi ABRI
Kebijakan dwi fungsi ABRI memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pertahanan dan fungsi pembangunan. Fungsi pertahanan meliputi tugas-tugas yang berkaitan dengan keamanan dalam negeri, seperti menjaga ketertiban, memerangi pemberontakan, dan melindungi kedaulatan negara. Sementara itu, fungsi pembangunan meliputi tugas-tugas yang berkaitan dengan pembangunan nasional, seperti membangun infrastruktur, membantu petani, dan memberikan pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan dwi fungsi ABRI lebih sering digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik pemerintah. ABRI sering digunakan untuk melakukan intervensi politik, seperti membubarkan partai politik dan organisasi masyarakat sipil yang dianggap mengancam kestabilan pemerintahan. Selain itu, ABRI juga sering digunakan untuk mengamankan pemilihan umum dan mengawasi kegiatan politik di daerah-daerah.
Kelemahan Kebijakan Dwi Fungsi ABRI
Kebijakan dwi fungsi ABRI memiliki beberapa kelemahan yang sangat mendasar. Pertama, kebijakan ini mengakibatkan ABRI menjadi terlalu berkuasa dan mengancam kebebasan sipil. ABRI memiliki kekuatan yang besar dan tidak terkendali, sehingga sering melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga mengakibatkan ABRI menjadi terlalu terlibat dalam urusan politik, sehingga mengurangi ruang gerak partai politik dan organisasi masyarakat sipil.
Kedua, kebijakan dwi fungsi ABRI juga mengakibatkan anggaran negara terlalu banyak digunakan untuk kepentingan militer. Sebagian besar anggaran negara digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan militer, sementara anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sangat minim. Hal ini mengakibatkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin memburuk di Indonesia.
Perubahan Kebijakan Dwi Fungsi ABRI
Pada akhirnya, kebijakan dwi fungsi ABRI dihapuskan pada tahun 1998 setelah terjadinya reformasi di Indonesia. Pemerintah menghapus kebijakan ini karena dianggap sudah tidak relevan dengan situasi politik dan sosial yang ada di Indonesia saat itu. Selain itu, kebijakan ini juga dinilai telah mengakibatkan banyak kesalahan dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Setelah kebijakan dwi fungsi ABRI dihapuskan, ABRI kemudian berubah menjadi TNI atau Tentara Nasional Indonesia yang hanya memiliki fungsi pertahanan negara. TNI tidak lagi terlibat dalam urusan politik dan pembangunan, melainkan hanya bertugas menjaga keamanan dan kedaulatan negara.
Kesimpulan
Kebijakan dwi fungsi ABRI pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia memiliki fungsi pertahanan dan fungsi pembangunan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini lebih sering digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik pemerintah. Kebijakan ini memiliki banyak kelemahan, seperti mengancam kebebasan sipil, mengurangi ruang gerak partai politik dan organisasi masyarakat sipil, serta menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1998 setelah terjadinya reformasi di Indonesia dan ABRI berubah menjadi TNI yang hanya memiliki fungsi pertahanan negara.