Lord Killearn akhirnya berhasil membawa wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946.
Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan tersebut diketuai oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sementara Belanda diwakili oleh suatu komisi umum yang dikirim dari negeri Belanda di bawah pimpinan Prof. Schermerhorn.
Dalam perundingan tersebut masalah gencatan senjata yang telah gagal dalam perundingan pada tanggal 30 September 1946, disetujui untuk dibicarakan lebih lanjut dalam tingkat panitia yang juga diketuai oleh Lord Killearn.
Dari pihak Indonesia dalam panitia tersebut duduk Perdana Menteri Sjahrir sendiri, sedangkan utusan Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn.
Perundingan tingkat panitia akhirnya menghasilkan persetujuan gencatan senjata yang isinya sebagai berikut.
- Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
- Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata, untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Sebagai kelanjutan perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati dekat Cirebon, dilangsungkan perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dengan komisi umum Belanda.
Perundingan ini yang dipimpin pula oleh Lord Killearn, menghasilkan suatu persetujuan.
Pada tanggal 15 November 1946, naskah persetujuan tersebut diparaf oleh kedua belah pihak. Pokok-pokok isi persetujuan adalah sebagai berikut.
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
- Republik Indonesia serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Setelah melalui perdebatan sengit di dalam masyarakat dan dalam lingkungan KNIP, akhirnya pada tanggal 25 Maret 1947 persetujuan Linggarjati ditandatangani di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta.
Tokoh-tokoh yang menandatangani persetujuan.
- Indonesia : Sutan Syahrir, Moh Roem, Mr. Susanti Tirtoprojo, dan dr.A.K.Gani.
- Belanda : Schermerhorn, Van Mook, dan Van Poll.
Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947)
Perbedaan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati, menyebabkan hubungan Indonesia – Belanda cenderung menuntut antara lain seperti berikut.
- Menempatkan Indonesia sebagai negara commonwealth (persemakmuran) dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda.
- Agar segera diadakan gendarmerie (pasukan keamanan) bersama.
Tuntutan Belanda tersebut ditolak oleh Indonesia. Akibatnya pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I.
Dalam agresinya Belanda berusaha menguasai kota-kota penting di Indonesia. Rakyat Indonesia pun tidak tinggal diam, dengan peralatan sederhana segera melancarkan perang gerilya.
Sementara agresi sedang berlangsung, pesawat Dakota yang membawa obat-obatan dari Singapura pada tanggal 29 Juli 1947 jatuh ditembak oleh pesawat Belanda di Yogyakarta.
Dalam peristiwa tersebut gugurlah Komodor Muda Udara Adi Sucipto, Komodor Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh, dan Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wiryokusumo.