Iman kita sebagai kaum muslimin, dibangun di atas pengakuan akan uluhiyah Allah. Bahwa Dia-lah Ilah satu-satunya yang berhak mendapatkan pengabdian, ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan kita. Mendapatkan ibadah kita, hidup dan mati.
Ia pulalah Rabb semesta alam, yang menciptakan, mengatur, dan memberi rezeki kepada seluruh makhluk-makhluk-Nya tanpa kecuali, utamanya manusia.
Yang karenanya, adalah tidak layak bagi-Nya membiarkan hamba- hamba-Nya tersia-sia. Berjalan sendiri tanpa arah tujuan, tanpa kepastian.
Rububiyah Allah “berlanjut kepada keharusan untuk memberi tahu manusia tentang apa yang bermanfaat bagi mereka dunia akhirat, agar mereka selamat.
Pun begitu juga halnya tentang kebalikannya akan apa yang disebut sebagai madharat, agar mereka tidak tersesat. Untuk itulah Allah menurunkan kitab suci dan memilih para nabi dan rasul.
Tanpa rasul, bukankah rububiyah-Nya akan ternoda?
Allah Sang Ma’bud Tunggal, adalah pihak yang berhak menerima peribadatan manusia dalam segala bentuknya, sehingga pemberiannya kepada selain’Nya sekecil apapun, hakikatnya adalah penyimpangan. Sebab inilah akar kesyirikan.
Bahkan, bukankah kita memang diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan bukan untuk hal yang lain?
Dan jika semua peribadatan itu harus berjalan di atas bentuk-bentuk tatacara khusus, sebab kita tidak bisa membuatnya sendiri sesuka kita, maka tidak ada pengetahuan di sisi kita akan tatacara itu selain melalui lisan tuntunan para rasul.
Bahkan lafazh-lafazh doa yang mengiringi ibadah dan pujian untuk-Nya, tidak bisa kita cipta asal saja. Semuanya berasal dari sisi-Nya melalui para rasul agar bersesuaian dengan namaanama yang indah dan sifat-sifat, Nya yang mulia.
Allah juga adalah Ar-Rahman, yang karenanya Dia akan membawa manusia kepada puncak kesempurnaan.
Kepada panggilan fitrah untuk meletakkan harapan, cinta dan rasa takut mereka dengan tepat. Termasuk menghadapi godaan syahwat dan setan yang seringkali tampak menggiurkan.
Agar manusia bisa menempuhi sirathal mustaqim yang selalu mereka pinta lewat shalat. . .
Harus ada rasul yang mengajarkan kitab suci, menghidupkan ruh dan hati, akar dari semua kebaikan ini.
Sebagai hujjah atas keadilan dan pembalasan-Nya di akhirat nanti, sebab kepada beriman, ingkar, atau munafik, manusia akan terbagi.
Nikmat utusan pembawa risalah ini lebih utama dari sekedar menghidupkan jasad ragawi ‘ dan organ-organ penyokongnya. Juga melebihi nikmat akan air hujan, rerumputan dan biji-bijian.
Muhammad saw,. penghulu para rasul bukanlah manusia sembarangan. Yang ketaatan kepadanya diniscayakan, dan kekufuran atasnya dimustahilkan. Bukankah kufur kepada Rasulullah saw, hakikatnya adalah kufur kepada Allah, itu sendiri? Walllaahu a’lam .(Trias)
Disarikan dari majalah Islam An-Najah