Jauh sebelum agama menjadi bagian dari sistem religi masyarakat Jawa, mereka telah mengenal adanya kepercayaan kuno yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang ada yang disebut kasekten.
Adanya kepercayaan mengenai roh leluhur atau arwah, dan makhluk halus seperti: lelembut, memedi, tuyul, demit, jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.
Menurut kepercayaan adat Jawa, makhluk-makhluk halus dapat mendatangkan kebahagiaan dan dapat pula mengakibatkan bencana.
Agar kehidupan manusia jauh dari bencana maka perlu melakukan sesuatu, misal: prihatin, berpuasa, berpantang, melakukan perbuatan tertentu atau makan makanan tertentu, mengadakan selamatan, dan bersaji.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama setelah makanan didoakan sebelum dibagi-bagikan. Upacara selamatan pada umumnya dipimpin oleh seorang modin.
Upacara selamatan dapat diklasifikasikan menjadi empat golongan sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan seorang, yaitu sebagai berikut.
- Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, misal: mitoni (upacara hamil tujuh bulan pada kehamilan anak pertama), kelahiran bayi, potong rambut pertama, bayi menyentuh tanah yang pertama (upacara tedhak siten), kematian, dan sebagainya.
- Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen.
- Selamatan berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar.
- Selamatan pada saat yang tidak menentu, bergantung pada suatu kejadian, misalnya akan bepergian, menolak bala (ngruwat).
Dari macam-macam selamatan tersebut yang mendapat perhatian paling besar dari berbagai lapisan masyarakat Jawa adalah upacara yang berkaitan dengan kematian dan sesudahnya, karena masyarakat adat Jawa sangat menghormati arwah leluhurnya.
Selamatan yang berkaitan dengan kematian meliputi: selamatan saat kematian (geblak), nelung dina (tiga hari setelah kematian), tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau nyatus, setahun atau pendhak sepisan, dua tahun atau pendhak pindho, dan seribu hari atau nyewu.
Seribu hari atau nyewu merupakan penutup dari rangkaian upacara kematian seseorang. Upacara seribu hari atau sedekah nyewu sering disebut juga sebagai upacara nguwisuwisi.
Selain menyelengarakan selamatan, masyarakat adat Jawa mengenal adanya bersaji, yaitu membuat sesajen pada waktu-waktu tertentu yang biasa diletakkan di berbagai tempat tertentu, misal: di perempatan jalan, di sudut rumah, di sumber air, di jembatan, dan di tempat yang dianggap keramat.
Sesaji pada umumnya dilakukan saat orang mempunyai hajatan. Sesaji bisa berupa: tiga macam bunga disebut bunga telon berisi mawar, kantil, dan kenanga, uang logam recehan, dan kue apem (terbuat dari tepung beras mirip kue serabi) yang semuanya diletakkan di besek kecil atau rangkaian bilah bambu segi empat yang disebut encek.
Juga ditaruh di dalam rangkaian tempat dari daun pisang yang disebut takir. Harihari khusus yang biasa dibuat sesaji adalah setiap malam Jum’at (khususnya malam Jum’at kliwon dan malam Selasa Kliwon). Malam Jum’at Kliwon dan malam Selasa kliwon dianggap sebagai hari-hari keramat.
Pada hari-hari tersebut dibuat sesaji sederhana berupa bunga tiga macam (bunga telon) dimasukkan ke dalam gelas berisi air, diberi pelita kecil dan saat meletakkan diadakan pembakaran kemenyan atau dikutugi.
Masyarakat adat Jawa juga mempercayai adanya kekuatan-kekuatan gaib yang disebut kasekten yang ditujukan pada benda-benda pusaka seperti keris dan alat musik jawa (gamelan).
Di samping itu masyarakat adat Jawa mengenal adanya upacara ruwatan sebagai penolak bala. Masyarakat Jawa mempercayai adanya tokoh pewayangan Batara Kala yang mengancam keselamatan orang-orang yang dianggap membawa sial (sukerta) dan perlu diruwat agar terhindar dari sukerta tersebut. Adapun orang-orang yang membawa sukerta, antara lain sebagai berikut.
- Anak tunggal disebut ontang-anting.
- Anak dua, laki-laki dan perempuan disebut kedono-kedini.
- Anak dua, perempuan semua disebut kembang sepasang.
- Anak lima, laki-laki semua disebut pandhawa.
- Anak tiga, dua perempuan dan satu laki-laki berada di tengah disebut pancuran kapit sendhang.
- Anak tiga, dua laki-laki dan satu perempuan di tengah disebut sendang kapit pancuran.
Upacara ngruwat tersebut pada umumnya dipimpin oleh seorang dalang tua yang biasa memainkan pertunjukan wayang kulit.
Upacara ngruwat dilakukan dengan menggelar pertunjukan wayang kulit yang berlangsung pada siang hari dan secara singkat, dengan cerita “Murwakala“.
Pada zaman sekarang ini upacara ngruwat sering dilakukan secara kolektif dan dimanfaatkan sebagai salah satu even budaya penarik pariwisata.