Sistem Kepercayaan Yang Ada Serta Berkembang Dalam Masyarakat Dayak

Masyarakat Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan yang terbagi menjadi beberapa sub-sub suku bangsa Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Ma’anyan, Dayak Ot Siang, Dayak Lawangan, Dayak Katingan, dan sebagainya.

Mereka mendiami di desa-desa sepanjang sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan (Mendawai) , Mentaya, Seruyan, Kurnai, Arut (Lemandandau), Jelau di kawasan Kalimantan Tengah.

Agama asli penduduk pribumi adalah agama Kaharingan. Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitarnya penuh dengan makhluk-makhluk halus dan roh-roh yang menempati tiang rumah, batu besar, pohon besar, hutan belukar, air, dan tempat-tempat lain yang ada di sekitar kehidupan manusia. 

Dalam bahasa Dayak Ngaju roh-roh tersebut dinamakan ganan. Menurut tempat tinggalnya bermacam-macam ganan memiliki nama yang berbeda-beda. Pada hakikatnya ganan dikelompokkan menjadi dua golongan, sebagai berikut.

  1. Ganan yang bersifat baik, dalam bahasa Dayak Ngaju disebut sangiang atau nayu-nayu.
  2. Ganan yang bersifat jahat, dalam bahasa Dayak Ngaju disebut taloh atau ngambe.

Selain ganan, masyarakat adat Dayak juga mempercayai adanya roh-roh nenek moyang, dalam bahasa Dayak Ngaju disebut liau. 

Menurut kepercayaan orang Dayak, jiwa (dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Hambaruan) orang mati meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai liau. 

Lama kelamaan liau itu akan kembali kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying. Akan tetapi, proses menuju dewa tertinggi tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dengan berbagai ujian dan rintangan untuk akhirnya masuk ke dunia roh yang disebut Lewu Liau dan menghadap Ranying.

Kepercayaan orang Dayak terhadap roh nenek moyang dan makhluk-makhluk halus yang menempati alam sekelilingnya terwujud dalam upacara-upacara keagamaannya. 

Upacara tersebut berupa pemberian sesaji kepada roh nenek moyang, dan berbagai bentuk upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, seperti upacara menyambut kelahiran, upacara memandikan bayi yang pertama kali, upacara memotong rambut bayi, upacara penguburan, dan pembakaran mayat.

Apabila orang Dayak mati, mayatnya diletakkan dulu di dalam peti mayat dari kayu berbentuk perahu lesung, dalam bahasa Dayak Ngaju disebut raung.

Kuburan tersebut dianggap kuburan sementara, karena upacara yang terpenting berhubungan dengan kematian adalah upacara pembakaran mayat yang berlangsung secara besar-besaran.

Upacara pembakaran mayat menurut orang Dayak Ngaju disebut tiwah dan menurut orang Dayak Ot Danum disebut daro. Adapun menurut orang Dayak Ma’anyan disebut ijambe.

Pada upacara pembakaran mayat, semua tulang belulang (terutama tengkoraknya) dari semua kerabat yang telah meninggal pada kurun waktu tertentu digali dan dipindahkan ke tempat pemakaman yang tetap dalam sebuah bangunan berukir indah yang disebut sandung. 

Mayat dibakar dan abunya disimpan di bangunan yang berukir indah yang disebut tambak. Pelaku upacara pembakaran mayat disebut balian. 

Seorang balian sebagai ahli upacara pemakaman akan menyanyikan dongeng-dongeng mitologi dan silsilah Ngaju yang amat panjang secara hafalan di luar kepala sampai berjam-jam, dan juga mempertunjukkan tarian suci. Dongeng-dongeng mitologi dan silsilah Ngaju disebut sansana atau bandar.