Berikut ini akan dijelaskan tentang sistem ekonomi nasional, pemikiran ekonomi nasional, sistem ekonomi liberal, ciri sistem ekonomi liberal, soemitro djojohadikusumo.
Sistem dan Pemikiran Ekonomi Nasional
Pemikiran ekonomi pada 1950an pada umumnya merupakan upaya mengembangkan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama.
Warisan ekonomi kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak perekonomian Indonesia.
Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir ekonomi nasional di setiap kabinet di era demokrasi parlementer. Upaya membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era demokrasi parlementer, Kabinet Natsir.
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru.
Soemitro mencoba mempraktikkan pemikirannya tersebut pada sektor perdagangan. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi nasional membutuhkan dukungan dari kelas ekonomi menengah pribumi yang kuat.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi, karena pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah.
Oleh karena itu, pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan bimbingan konkret dan bantuan pemberian kredit.
Jika usaha ini berhasil maka secara bertahap pengusaha pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan berhasil.
Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng.
Program ini antara lain mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi, serta membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah perlindungan pemerintah.
Selain tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan kaum pengusaha pribumi agar mampu bersaing dalam usaha dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing lainnya.
Upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberi peluang usaha sebesar-besarnya bagi pengusaha pribumi dengan bantuan kredit. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kelas pengusaha pribumi yang mampu meningkatkan produktivitas barang dan modal domestik.
Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng, pemberian lisensi impor banyak yang disalahgunakan.
Mereka yang menerima lisensi bukanlah orang-orang yang memiliki potensi kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang mendistribusikan lisensi dan kredit. Kondisi ini terjadi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik.
Akibatnya, pengusaha-pengusaha yang masuk dalam Program Benteng lamban menjadi dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan maksud pemerintah tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya, yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina.
Penyelewengan lain dalam pelaksanaan Politik Benteng adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi.
Orang Indonesia hanya digunakan untuk memperoleh lisensi, pada kenyataannya yang menjalankan lisensi tersebut adalah perusahaan keturunan Cina.
Perusahaan yang lahir dari kerja sama tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-Baba”. Ali mewakili Pribumi dan Baba mewakili warga keturuan Cina.
Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”.
Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga keturuan Cina pada khususnya.
Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah
pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi.
Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
Pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan jangka pendek untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran.
Untuk itu pada tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang mempunyai nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin.
Upaya pembangunan ekonomi nasional juga diwujudkan melalui program pembangunan rencana lima tahun, 1956-1960, yang disiapkan oleh Biro Perancang Nasional (BPN). Program ini pertama kali dijalankan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Program Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya. Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta mencakup prioritas-prioritas proyek yang paling rendah.
Tujuan dari Rencana Lima Tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor swasta.
Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Nasionalisasi ini berupa tindakan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah Republik Indonesia. Pengalihan hak milik modal asing sudah dilakukan sejak pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.
Hal ini terkait dengan hasil KMB yang belum terselesaikan, yaitu kasus Irian Barat yang janjinya satu tahun setelah berakhirnya KMB akan dibicarakan kembali, namun tidak dilaksanakan sehingga pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil kebijakan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda.
Sejak tahun 1957 nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap; pertama, tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan atau sering disebut “di bawah pengawasan”.
Kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan. Tahap ini dimulai pada Desember 1958 dengan dikeluarkannya UU tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia.
Sistem Ekonomi Liberal
Sesudah pengakuan kedaulatan, Pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat dampak dari disepakatinya ketentuan-ketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri.
Struktur perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai ekspor Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan yang nilainya jauh di bawah produksi pada era sebelum Perang Dunia II.
Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup.
Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang rendah. Beban berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Pada era ini, Pemerintah mengalami defisit sebesar Rp 5,1 miliar.
Defisit ini sebagian besar berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah perang Korea.
Namun sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak memiliki komoditas ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan.
Kondisi ini membawa dampak perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik sehingga angka defisit semakin meningkat.
Disamping itu, pemerintah belum berhasil meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh pemeritah Belanda.
Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak mampu menghasilkan perubahan yang drastis.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut diantaranya adalah melaksanakan industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro.
Sasaran yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan. Kebijakan ini diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana, dan penanaman modal asing.
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek).
Perundingan ini dilakukan pada tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:
- Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
- Hubungan finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain.
Namun usul Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda.
Upaya yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang Negara pada masa Kabinet Ali II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional.
Biro ini kemudian merancang Rencana Program Pembanguan Lima Tahun (RPLT) yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen. Namun karena berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk dijalankan.
Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan pemberontakan yang dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi ini mendorong meningkatnya prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari angka 20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.