Alternatif Penyelesaian Masalah Keberagaman Budaya di Indonesia
Sebuah masyarakat yang memiliki karakteristik heterogen pola hubungan sosial antarindividunya di dalam masyarakat, harus mampu mengembangkan sifat toleransi dan menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lain dengan menerima setiap perbedaan-perbedaan yang melekat pada keberagaman budaya bangsa.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah konsep yang mampu mewujudkan situasi dan kondisi sosial yang penuh kerukunan dan perdamaian meskipun terdapat kompleksitas perbedaan.
Kebesaran kebudayaan suatu bangsa terletak pada kemampuannya untuk menampung berbagai perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kesatuan yang dilandasi suatu ikatan kebersamaan.
Dalam masyarakat multikultural, masyarakat antarsuku bangsa dapat hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai.
Nilai budaya tersebut bukan hanya merupakan sebuah wacana, tetapi harus dijadikan pedoman hidup dan nilai-nilai etika dan moral dalam perilaku masyarakat Indonesia.
Dalam prinsip multikulturalisme ini penegakan prinsip-prinsip demokrasi menjadi tujuan utama nilai-nilai sosial. Salah satu ciri masyarakat multikultur adalah pengakuan terhadap kesetaraan dalam perbedaan.
Melalui pendekatan multikultur setiap kebudayaan dan antarkelompok masyarakat dipandang mempunyai cara hidupnya sendiri-sendiri yang harus dipahami dari konteks masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.
Dalam sistem demokrasi partisipatif, hukum adalah supremasi tertinggi dengan tidak memihak pada kelompok tertentu. Semua kelompok masyarakat, baik mayoritas atau minoritas, kaya atau miskin dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang objektif.
Kedua, adanya distribusi pendapatan dan sarana ekonomi yang relatif merata. Artinya, tidak terjadi ketimpangan sosial ekonomi antarlapisan, golongan, dan daerah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi dan politik sangat penting dalam mengelola masyarakat majemuk tersebut.
Sebenarnya interaksi lintas budaya bagi masyarakat Indonesia yang tersebar di Kepulauan Nusantara bukan merupakan hal yang baru.
Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, mobilitas penduduk di Kepulauan Nusantara tersebut cukup tinggi yang tercermin dalam toponomi perkampungan suku bangsa atau golongan sosial perkotaan di Indonesia.
Gejala tersebut bukan hanya membuktikan betapa tingginya mobilitas penduduk di masa lampau, melainkan juga mencerminkan adanya pola-pola interaksi sosial lintas budaya.
Pembagian kerja atau spesialisasi yang menjadi sumber mata pencaharian yang ditekuni oleh masing-masing kelompok suku bangsa atau golongan sosial tersebut telah mendorong mereka untuk mendirikan perkampungan yang memberikan kesan eksklusif.
Walaupun perkampungan eksklusif kesukuan ataupun golongan tersebut kini telah berkurang (survival), namun dalam perkembangan di perkotaan nampak adanya kecenderungan para pendatang baru untuk hidup berkelompok dalam suatu perkampungan.
Hal ini didorong oleh adanya kesamaan profesi. Misalnya, di kota Surakarta terdapat perkampungan batik Laweyan, perkampungan Islam Kauman atau perkampungan pecinan.