Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu maupun Buddha di Indonesia mengalami masa kejayaan antara abad ke-7 sampai 12 M. Setelah memasuki abad ke-10 sampai abad ke-12, kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu maupun Buddha di Indonesia mulai mengalami kemunduran.
Runtuhnya Tradisi Hindu-Buddha di Indonesia
Secara umum, faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebagai berikut.
- Terdesaknya kerajaan-kerajaan kecil oleh kerajaan-kerajaan besar.
- Tidak ada pengaderan pemimpin sehingga tidak ada pemimpin pengganti yang setara dengan pendahulunya.
- Munculnya perang saudara yang melemahkan kerajaan.
- Kemunduran ekonomi perdagangan negara.
- Tersiarnya agama Islam yang mendesak agama Hindu-Buddha.
Walaupun kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha telah runtuh, tetapi tradisinya masih hidup di Nusantara. Berikut ulasan mengenai faktor-faktor penyebab runtuhnya tiga kerajaan besar di Nusantara yang bercorak Hindu-Buddha.
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
a. Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
b. Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional.
Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
c. Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.
d. Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali.
Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India.
Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu.
Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).
Berita Cina dari zaman dinasti Tang menyebutkan bahwa pada abad ke-7, di Kanton dan Sumatra sudah ada orang muslim.
Hal ini berkaitan dengan perkembangan perdagangan dan pelayaran yang bersifat internasional antara negara-negara Asia Barat dan Asia Timur, yaitu antara Kerajaan Islam Bani Umayyah, kerajaan Cina dinasti Tang, dan Kerajaan Sriwijaya.
Pada abad ke-7 sampai ke-12 Masehi, Kerajaan Sriwijaya memang memegang peranan penting di bidang ekonomi dan perdagangan untuk daerah Asia Tenggara.
Namun pada abad ke-12, peranan tersebut mulai menunjukkan kemunduran. Bukti mengenai kemunduran ekonomi dan perdagangan Sriwijaya dapat diketahui dari berita Chou Ku-Fei tahun 1178.
Berita tersebut menyatakan bahwa harga barang-barang dari Sriwijaya mahal karena rupanya tidak lagi menghasilkan hasil-hasil alamnya.
Untuk mencegah kemunduran ekonomi dan perdagangan, Kerajaan Sriwijaya kemudian membuat peraturan cukai yang lebih berat bagi kapal dagang yang singgah ke daerah pelabuhannya.
Kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan dan politik dipercepat oleh usaha-usaha Kerajaan Singasari untuk memperkecil kekuasaan Sriwijaya dengan mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275.
Usaha tersebut dimanfaatkan oleh daerah-daerah lain untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Sejalan dengan itu para pedagang muslim (mungkin disertai para mubalignya pula) mempergunakan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan dan politik.
Mereka mendukung daerah-daerah yang melepaskan diri tersebut dan memunculkan kekuatan-kekuatan baru berupa kerajaan-kerajaan bercorak Islam, seperti Samudra Pasai yang terletak di pesisir timur laut Aceh, termasuk Kabupaten Aceh Utara dekat Lhokseumawe.
Kerajaan Mataram Kuno
Peranan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah mundur ketika pusat kekuasaannya pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ada beberapa pendapat mengenai pemindahan pusat kerajaan ini.
Pendapat lama mengatakan bahwa pemindahan pusat kerajaan ini sehubungan dengan adanya bencana alam berupa banjir atau gunung meletus atau adanya wabah penyakit.
Namun, pendapat ini tidak dapat dibuktikan sebab tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah. Pendapat lain menyebutkan bahwa rakyat menyingkir ke Jawa Timur akibat adanya paksaan terhadap para penganut Hindu untuk membangun candi Buddha. Pendapat baru menyebutkan dua faktor berikut.
a. Keadaan alam bumi Mataram yang tertutup secara alamiah berakibat negara ini sulit berkembang. Sementara, keadaan alam Jawa Timur lebih terbuka untuk perdagangan luar,
tidak ada pegunungan atau gunung yang merintangi, bahkan didukung adanya Sungai Bengawan Solo dan Brantas yang memperlancar lalu lintas dari pedalaman ke pantai.
Apalagi, alam Jawa Timur belum banyak diusahakan sehingga tanahnya lebih subur dibandingkan dengan tanah di Jawa Tengah.
b. Dari segi politik, ada kebutuhan untuk mewaspadai ancaman Sriwijaya, terutama karena Sriwijaya pada saat itu dikuasai dinasti Syailendra.
Sebagai antisipasinya, pusat kerajaan perlu dijauhkan dari tekanan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya sungguh-sungguh menyerang pada pertengahan abad ke-10, Mpu Sindok dapat mematahkannya.
Tetapi, serangan Sriwijaya berikutnya dibantu Raja Wurawari pada tahun 1017 menghancurkan Mataram yang saat itu dipimpin Dharmawangsa. Kerajaan Mataram yang kedua berdiri kembali di Jawa Tengah pada abad ke-16, kali ini telah beragama Islam.
Kerajaan Majapahit
Kemunduran Majapahit berawal sejak wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Hayam Wuruk tidak dapat memperoleh ganti yang secakap Gajah Mada.
Jabatan-jabatan yang dipegang Gajah Mada (semasa hidupnya, Gajah Mada memegang begitu banyak jabatan) diberikan kepada tiga orang.
Setelah Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389, Majapahit benar-benar mengalami kemunduran. Beberapa faktor penyebab kemunduran Majapahit sebagai berikut.
a. Tidak ada lagi tokoh di pusat pemerintahan yang dapat mempertahankan kesatuan wilayah setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk meninggal.
b. Struktur pemerintahan Majapahit yang mirip dengan sistem negara serikat pada masa modern dan banyaknya kebebasan yang diberikan kepada daerah memudahkan wilayah-wilayah jajahan untuk melepaskan diri begitu diketahui bahwa di pusat pemerintahan sedang kosong kekuasaan.
c. Terjadinya perang saudara, di antaranya yang terkenal adalah Perang Paregreg (1401 – 1406) yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi melawan pusat Kerajaan Majapahit.
Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di wilayah Blambangan. Namun, ia berambisi untuk menjadi raja Majapahit.
Dalam cerita rakyat, Bhre Wirabhumi dikenal sebagai Minakjingga yang dikalahkan oleh Raden Gajah atau Damarwulan.
Selain perang saudara, terjadi juga usaha memisahkan diri yang dilakukan Girindrawardhana dari Kediri (1478).
d. Masuknya agama Islam sejak zaman Kerajaan Kediri di Jawa Timur menimbulkan kekuatan baru yang menentang kekuasaan Majapahit.
Banyak bupati di wilayah pantai yang masuk Islam karena kepentingan dagang dan berbalik melawan Majapahit.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk (suami Kusumawardhani), naik takhta menggantikan Hayam Wuruk.
Hal ini menimbulkan ketidaksenangan saudara laki-laki lain ibu dari Kusumawardhani yang bernama Bhre Wirabhumi.
Bhre Wirabhumi ini lahir dari seorang selir sehingga tidak berhak atas takhta Majapahit. Lama-kelamaan rasa tidak puas itu makin memuncak hingga timbul perang saudara antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi. Sengketa ini lalu berlarut-larut.
Setelah Wikramawardhana digantikan oleh Suhita, pertentangan ini masih berlanjut. Suhita meninggal pada tahun 1447 M dan digantikan oleh Kertawijaya.
Setelah Kertawijaya meninggal pada tahun 1451, kekacauan politik semakin memburuk. Penggantinya, Bhre Pamotan yang bergelar Rajasawardhana atau Sinagara (1451 – 1453) berusaha mengembangkan pemerintahan, namun tidak berhasil karena tewas dalam perang.
Sepeninggalnya, Majapahit mengalami kekosongan kekuasaan selama tiga tahun hingga muncul Bhre Wengku atau Bhre Hyang Purwawisesa (putra Kertawijaya) yang memegang kekuasaan dari tahun 1456 sampai 1466.
Ia digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang hanya memerintah selama dua tahun sebab diserang oleh Bhre Kertabhumi (putra Bhre Pamotan).
Bhre Pandan Salas (Bhatara ri Dahanapura) digantikan putranya, Girindrawardhana Dyah Ramawijaya. Awalnya, ia memerintah di Keling, namun kemudian menyerang Majapahit (1468) untuk merebut kembali takhta dari tangan Bhre Kertabhumi.
Ramawijaya kemudian menjadi raja terakhir Majapahit dengan gelar Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunata. Gelar ini diperolehnya sebab ia menguasai tiga kerajaan sekaligus, yaitu Majapahit, Jenggala, dan Kediri.