dan kebahagiaan rumah tangga. Jika suami istri memegang kuat-kuat konsep An
Nisa’;34, maka itulah jaminan berlayarnya bahtera tanpa masalah berarti walau
ombak bisa menggulung setinggi gunung.
Tetapi jika sebaliknya, maka yang akan
terjadi adalah ketidaknyamanan terus menghantui sejak di pelabuhan pertama
hingga sampan mulai dikayuh. Apalagi ketika langit mulai gelap. Ayat ini sudah
dilupakan oleh banyak keluarga muslim.
Sehingga para suami kehilangan kendali
atas kepemimpinan dan kelayakannya sebagai pendidik. Pelan tapi pasti,
kewibawaan suami menghilang hingga hamper-hampir sirna.
Bahkan telah ada yang
sirna. Tak ada lagi sorot mata berwibawa penuh makna yang tak perlu mengeuarkan
instruksi tetapi telah dipahami istri dan dilaksanakan.
mendesak masuk ke wilayah laki-laki. Kekekaran dan keperkasaan perlahan mulai
terlihat jelas. Lama-lama, istri tak lagi membutuhkan suami. Karena ia bisa
melakukan semuanya, tanpa suami. Suami hanya sesosok wayang yang tak bergerak.
Hanya ketika diperlukan, suami dirasa kehadirannya. Tetapi sering kali suami
hanya peengkap, mungkin penderita. Tak ada lagi kekaguman, keterikatan,
kewibawaan suami di hati istri.
keluarga hari ini, bukankah sangat wajar ketika rumah tangga retak dan kemudian
rata dengan tanah.
sedalam-dalamnya. Baik bagi yang sedang menimbang calon, ataupun yang mulai
melangkah, hingga bagi para orang tua yang sedang memilih menantu, sampai
mereka yang tengah sibuk mendidik anak laki-laki.
dan renungi dalam-dalam ayat ini dengan petunjuk para ulama. Kita mulai dari
kriteria laki-laki yang akan membawa bahtera menuju pasir putih pantai harapan.
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Qs. An
Nisa’:34)
pembahasan keluarga bukan hal sepele. Allah langsung memberi petunjuk Nya yang
sangat jelas. Kelebihan yang diberikan kepada laki-laki itu langsung dari
Allah. Amanah besar bagi laki-laki untuk menjadi laki-laki.
Itu artinya, bahwa
setiap laki-laki telah dibekali pada dirinya sifat kepemimpinan dan sebagai
pendidik bagi wanita. Kalaupun hilang, pasti dikarenakan kesalahan dirinya
sendiri yang tentu dipengaruhi banyak factor.
Laki-Laki
hendak memilih pasangan atau telah menjalani rumah tangga atau sedang memilih
menantu atau sedang mendidik anak laki-lakinya, dua hal berikut ini adalah
syarat untuk seorang suami memiliki Qowamah dalam keuarganya:
sebagian yang lain (wanita)
harus mencakup segala bentuk kelebihan. Memang tidak ada laki-laki sempurna
yang mempunya kelebihan di semua hal.
Kalau dia punya kelebihan pada beberapa
hal, sangat mungkin lemah di bidang yang lain. Tapi setidaknya, kelebihan di
dalam hal-hal yang menopang kepemimpinan dan perannya sebagai pendidik harus
dimiliki.
Biqo’I,
(kelebihan) pada Akal, Kekuatan, dan Keberanian. Oleh sebab itulah dari kaum
laki-laki adanya para Nabi, para pejabat, para pemimpin tertinggi, para wali
dalam pernikahan. Dan segala bidang yang memerlukan kekuatan badan, akal dan
agama. Untuk itulah Allah berfirman kepada laki-laki: (Berangkatlah (berjihad)
kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat) At Taubah: 41. Dan Dia
berfirman kepada wanita: (Dan menetaplah kamu di rumahmu) Al-Ahzab: 33.”
bersifat mauhibah(anugerah Allah
secara fitrah). Jadi, semakin jelas bahwa secara penciptaan, laki-laki pasti
lahir dengan diberikan kelebihan pada akal, kekuatan dan keberanian. Hilangnya
ketiga hal tersebut, seiring sejalan dengan salah asuh dan didikan.
mereka.)
menyoroti nafkah lahir yaitu harta. Karena selama seorang laki-laki sehat,
nafkah batin tak perlu dibahas panjang lebar. Tetapi ada laki-laki yang siap
menafkahi batin, ternyata terlalu menyederhanakan nafkah lahir.
bagi keluarga, artinya kehilangan kepemimpinan.
Al Biqo’I sebagai kemampuan mauhibah,
maka poin dua ini disebut kemampuan kasbi
(diusahakan dan bukan bawaan).
laki-laki harus menjaga anugerah bawaan (fitrah)nya sebagai laki-laki. Dan
laki-laki pun harus berupaya sekuat tenaga untuk mendatangkan nafkah bagi
keluarganya.
nafkah harta, sebatas kemampuan maksimalnya. Tidak mesti harus banyak.
Sebagaimana firman Allah,;
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.(Al
Baqarah: 236)
tanggung jawab penuh seorang laki-laki dalam mencari nafkah. Toh, semuanya
masih terbuka peluang untuk berubah lebih baik.
Nabi menyebut Muawiyah sebagai
orang yang miskin tak punya harta. Tetapi di kemudian hari setelah Rasul wafat,
Muawiyah adalah pemimpin besar muslimin yang memiliki banyak harta.
dua sejoli yang harus ada kedua-duanya, terpatri pada diri laki-laki. Barulah
ia layak disebut sebagai pemimpin dan pendidik. Yang dengan nahkoda seperti
ini, rumah tangga akan sangat terjaga perjalanannya.
satunya atau bahkan kedua-duanya, maka otomatis tercabutlah Qowamah dari pundak suami. Dan rumah
menjadi bahtera tanpa nahkoda.