Bukhari. Nama yang begitu akrab di telinga kita. Amirul Mukminin dalam hadits.
Sang Hafidh. Sang Imam dunia dalam hadits.
Isma’il bin Ibrahim bin Mughiroh al-Bukhari al-Ja’fi, begitu nama dan nasab
ulama yang lahir di Bukhara, pada bulan Syawwal tahun 194 H. Beliau meninggal
di tanah kelahiran pada tahun 256 H.
Isma’il,
ayahnya adalah orang yang gemar menuntut ilmu. Imam Bukhari menuturkan tentang
sang ayah; “Ayahku mendengar dari Malik bin Anas, melihat Hammad bin Zaid, dan
menjabat tangan Ibnu Mubarok dengan kedua tangannya.” (Siyar A’lam Nubala’,
Imam Dzahabi, 10/79)
meninggal saat Imam Bukhari masih kecil. Lalu, sang ibulah yang berperan besar
setelah itu. Ibunda yang sukses mendidik anaknya, meski tanpa kehadiran suami.
Ahmad al-Balkhi menceritakan bahwa Imam Bukhari buta di waktu kecil. Suatu
malam, sang ibu bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim.
Dalam mimpinya, Nabi
Ibrahim berkata; “Sungguh, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu
lantaran banyaknya tangis dan doamu.” Dan setelah pagi hari, ternyata Imam
Bukhari bisa melihat. (Siyar A’lam Nubala’, Imam Dzahabi, 10/80)
keberkahan pertama yang mengawali perjalanan hidup Imam Bukhari dalam menuntut
ilmu.
Hadirnya seorang ibu yang selalu membasahi lisannya dengan doa kepada
Allah untuk kebaikan anaknya. Ibu yang memiliki keyakinan tinggi kepada Allah
Subhanahu wata’ala.
kecil memiliki kegemaran menghafal hadits. Saat itu beliau sedang duduk di
bangku Kuttab.
Lalu, pada usianya yang masih sangat belia, sebelas tahun,
beliau telah mendalami silsilah sanad hadits. Dan di usia enam belas tahun,
beliau telah menghafal buku-buku yang ditulis oleh Ibnu Mubarok dan Imam Waki’.
dan pengorbanan ulama yang berpostur kurus ini cukup besar. Lebih dari seribu
ahli ilmu beliau kunjungi, untuk menimba ilmu dari mereka. Lebih dari enam
ratus ribu hadits beliau hafalkan.
di bawah kolong langit seseorang yang paling mengetahui hadits melebihi
Muhammad bin Isma’il.” Begitu ungkapan seorang ulama’ besar, Abu Bakar Muhammad
bin Ishaq bin Khuzaimah
melatarbelakangi Imam Bukhari menulis kitab al-Jami’ ash-Shahih?
sendiri menuturkan; “Kami berada di sisi Ishaq bin Rahawaih. Lalu beliau
berkata, “Seandainya kalian mengumpulkan sunnah Nabi Shalallahu’alaihi wasallam
dengan ringkas.”
melanjutkan, “Lalu ungkapan itu menempa hatiku, kemudian aku mulai mengumpulkan
al-Jami’ ash-Shahih.” (Siyar A’lam Nubala’, Imam Dzahabi, 10/84)
dan Imam Nawawi menyebutkan bahwa nama kitab Shahih Bukhari adalah; “al-Jami’
al-Musnid ash-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah Shalallahu’alaihi
wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi”.
merupakan keberkahan dari kalimat sang Guru; Ishaq bin Rahawaih. Kalimat yang
sederhana, bahkan mungkin biasa. Namun ketika ikhlas, tulus, akan melahirkan
dorongan jiwa dan hentakan semangat yang luar biasa.
ulama’ yang memiliki lebih dari 70.000 murid ini menulis kitabnya?
Ma’qil pernah mendengar Imam Bukhari berkata, “Aku tidak memasukkan dalam kitab
ini kecuali yang shahih, dan aku meninggalkan hadits-hadits shahih lain supaya
kitab ini tidak panjang.” (Siyar A’lam Nubala’, Imam Dzahabi, 10/85)
al-Kusymihani mendengar al-Firabri yang berkata, “Muhammad bin Isma’il (Imam
Bukhari) berkata kepadaku, “Aku tidak menaruh di dalam kitabku “ash-Shahih” ini
satu hadits melainkan aku mandi sebelum itu dan aku shalat dua roka’at.” (Siyar
A’lam Nubala’, Imam Dzahabi, 10/84)
Ini merupakan salah satu sebab keberkahan kitab Shahih Bukhari yang didalamnya
terdapat 7397 hadits menurut al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Lalu kitab
tersebut diterima dengan sangat baik oleh kalangan luas ummat Islam. Dan
menjadi kitab terbaik setelah al-Qur’anul Karim.
para ulama’ beramai-ramai membuat syarah (penjelasan) kitab Shahih tersebut.
Diantaranya ada;
Fathul
Baari Syarah Shohih al-Bukhari, karya Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-‘Asqalani
(w. 852 H). Ini merupakan kitab terbaik yang menjelaskan Shahih Bukhari. Imam
asy-Syaukani mengatakan; “Tidak perlu hijrah lagi setelah kitab Fathul
Bari.”Setelah menyelesaikan penyusunan kitab sebanyak tiga belas jilid ditambah
satu jilid mukadimahnya, dari tahun 817 – 842 H (25 tahun), Ibnu Hajar
menginfaqkan hartanya sebesar 500 Dinar.
Umdatul Qoori fii Syarhil Bukhari, karya Badruddin Mahmud bin Ahmad al-‘Aini
al-Hanafi (w. 855 H).
Irsyaadus
Saari ilaa Syarhi Shohih al-Bukhari, karya Syihabuddin Ahmad bin Muhammad
al-Khatib al-Qisthilani al-Qahiri asy-Syafi’i (w. 923 H).
Al-Kawaakib
ad-Daraari fii Syarhi Shahih al-Bukhari, karya Syamsuddin Muhammad bin Yusuf
bin Ali bin Sa’id al-Kurramani (w. 786 H).
Syarah
Ibnul Munir, karya Imam Nashiruddin Ali bin Muhammad bin Munir al-Iskandari.
Syarah
Ibnu Bathol ‘alaa Shahih al-Bukhari, karya Abul Hasan Ali bin Khalaf
al-Qurthubi al-Maliki / Ibnu Bathol (w. 449 H).
At-Tausyih
Syarhul Jaami’ ash-Shahih, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H).
At-Talwiih
fii Syarhil Jaami’ ash-Shahih, karya Hafidh ‘Alauddin Mighlathi bin Qolij
at-Turki al-Mishry al-Hanafi (w. 762 H).
itu, masih banyak lagi kitab-kitab yang menjelaskan kandungan hadits-hadits
dalam kitab Shahih Bukhari.
Ada juga yang belum terselesaikan, seperti yang
pernah ditulis oleh Ibnu Katsir, Ibnu Rajab al-Hanbali dan Imam Nawawi.
Keberkahan
sang ibu, sang guru, menghantarkan pada keberkahan ilmu.